CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Rabu, 06 Agustus 2008

4 TIPE POLA ASUH ORANG TUA


4 TIPE POLA ASUH ORANG TUA

Menjadi orang tua memang tidak gampang. Sekolahnya pun tidak ada. Namun begitu, bagaimanapun Anda bersikap terhadap anak, implementasinya bisa digolongkan dalam 4 tipe pola asuh. Termasuk orang tua bagaimanakah Anda?
Semalam Irma terlambat tidur, karena sepupunya berkunjung dan baru pulang jam 22.00. Hari ini si kecil yang masih duduk di kelas 2 SD itu bangun kesiangan. Akibatnya, ia jadi angot, enggak mau berangkat ke sekolah dengan alasan malu kalau terlambat. Setelah semua penghuni rumah membujuknya, bukannya segera mandi dan bergegas ke sekolah, Irma malah makin menjadi-jadi amukannya.
Kalau Irma adalah anak Anda, bagaimana menyikapinya? Memaksanya untuk segera berangkat sekolah? Membiarkannya tidak masuk sekolah? Atau bagaimana? "Sikap yang diambil orang tua terkait erat dengan pola asuh yang diterapkan pada anaknya," ujar Dra. Clara Istiwidarum Kriswanto, MA, CPBC., dari Jagadnita Consulting.
Pada dasarnya orang tua menginginkan anaknya untuk tumbuh menjadi orang yang matang dan dewasa secara sosial. Sehingga apa pun jenis pengasuhan yang diterapkan orang tua pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai hal tersebut. Namun, kadang orang tua tidak menyadari bahwa pola pengasuhan tertentu dapat membawa dampak merugikan bagi anak. Menurut seorang pakar psikologi, Diana Baumrind, ada empat jenis pola pengasuhan, yaitu otoriter, authoritative, neglectful dan indulgent. Kalau Anda ingin tahu termasuk yang mana, simak penjelasannya berikut.
Marfuah Panji Astuti. Foto Ferdi/nakita

OTORITER YANG MEMAKSA

BILA orang tua Irma termasuk tipe otoriter, maka dia akan mengambil sikap memaksa tanpa kompromi sama sekali. Pokoknya, sekolah wajib hukumnya dan anak tidak boleh membolos dengan alasan apa pun. Mau terlambat, harus menanggung malu, atau kena hukum dari guru, orang tua tidak mau tahu. Yang penting anak tetap berangkat sekolah yang memang menjadi kewajibannya. "Pokoknya Mama-Papa enggak mau tahu. Kamu harus segera mandi dan berangkat sekolah. Jangan membantah!" Kata-kata seperti itulah yang akan diucapkan oleh orang tua otoritarian bila menghadapi keadaan ini.
Pola otoriter adalah pengasuhan yang kaku, diktator dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa banyak alasan. Dalam pola asuh ini biasa ditemukan penerapan hukuman fisik dan aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan di balik aturan tersebut.
Orang tua mungkin berpendapat bahwa anak memang harus mengikuti aturan yang ditetapkannya. Toh, apa pun peraturan yang ditetapkan orang tua semata-mata demi kebaikan anak. Orang tua tak mau repot-repot berpikir bahwa peraturan yang kaku seperti itu justru akan menimbulkan serangkaian efek.
Pola asuh otoriter biasanya berdampak buruk pada anak, seperti ia merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif, selalu tegang, tidak mampu menyelesaikan masalah (kemampuan problem solving-nya buruk), begitu juga kemampuan komunikasinya yang buruk.

NEGLECTFUL SI CUEK

BILA masalah Irma ini dihadapi oleh orang tua yang mempunyai pola asuh neglectful, maka apa pun yang terjadi, terjadilah tanpa orang tua menaruh peduli sama sekali. Anak mau sekolah terserah, tidak sekolah juga terserah. Apa saja yang ingin dilakukan anak, orang tua membolehkannya. Kalau ia harus berangkat kerja saat itu, ya ia tetap berangkat ke kantor, tanpa peduli anak akan menentukan pilihan yang mana. Dalam bahasa sederhananya tipe ini adalah tipe orang tua yang permisif alias serba membolehkan.
Pola neglectful adalah pola dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing memedulikan kehidupan anaknya. Jangan salahkan bila anak menganggap bahwa aspek-aspek lain dalam kehidupan orang tuanya lebih penting daripada keberadaan dirinya. Walaupun tinggal di bawah atap yang sama, bisa jadi orang tua tidak begitu tahu perkembangan anaknya.
Pola asuh seperti ini tentu akan menimbulkan serangkaian dampak buruk. Di antaranya anak akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Akibatnya, masalah menyerupai lingkaran setan yang tidak pernah putus.

INDULGENT TIDAK PUNYA POSISI TAWAR

KIRA-KIRA seperti ini yang akan dikatakan orang tua yang tidak punya posisi tawar, "Ya sudah, Irma boleh enggak sekolah. Kamu lagi malas sekolah ya?" Kalau Irma mau menonton televisi saja di rumah, orang tua akan berkata, "Ya sudah, daripada menangis terus, kamu nonton teve saja deh." Begitu seterusnya. Kata-kata seperti itu akan sering diucapkan oleh orang tua yang mempunyai pola asuh indulgent.
Pola indulgent sebetulnya menjadi istilah bagi pola asuh orang tua yang selalu terlibat dalam semua aspek kehidupan anak. Namun di situ tidak ada tuntutan dan kontrol dari orang tua terhadap anak. Mereka cenderung membiarkan anaknya melakukan apa saja sesuai dengan keinginan mereka. Dalam bahasa sederhananya, orang tua akan selalu menuruti keinginan anak, apa pun keinginan tersebut. Bahkan orang tua jadi tidak punya posisi tawar sama sekali di depan anak karena semua keinginannya akan dituruti, tanpa mempertimbangkan apakah itu baik atau buruk bagi si anak," tandas Clara.
Banyak orang tua yang menerapkan pola asuh ini berkilah bahwa sikap yang diambilnya didasari rasa sayangnya terhadap anak. "Cinta saya pada si kecil kan cinta yang tidak bersyarat. Jadi, apa pun yang diminta anak akan saya turuti." Padahal yang namanya cinta, pada siapa pun, termasuk pada anak, tidak identik dengan keharusan menuruti semua keinginannya.
Akibat buruk yang harus diterima anak sehubungan dengan pola asuh orang tua yang seperti ini jelas tidak sedikit. Di antaranya anak jadi sama sekali tidak belajar mengontrol diri. Ia selalu menuntut orang lain untuk menuruti keinginannya tapi tidak berusaha belajar menghormati orang lain. Anak pun cenderung mendominasi orang lain, sehingga punya kesulitan dalam berteman.

AUTHORITATIVE MEMBERIKAN PILIHAN

APAKAH Anda termasuk orang tua yang akan memilih langkah seperti ini? "Jadi Irma maunya gimana? Kalau mau makan es krim dulu, oke Mama kasih waktu 5 menit, tapi setelah itu kamu harus segera mandi dan berangkat sekolah." Anak boleh memilih melakukan apa yang menurutnya baik, tetapi tetap harus ada batasan apa yang seharusnya dilakukan. Pola asuh seperti ini dikategorikan sebagai pola asuh authoritative.
Pola authoritative mendorong anak untuk mandiri, tapi orang tua tetap menetapkan batas dan kontrol. Orang tua biasanya bersikap hangat, dan penuh welas asih kepada anak, bisa menerima alasan dari semua tindakan anak, mendukung tindakan anak yang konstruktif. "Jadi pada kasus anak terlambat sekolah, orang tua tetap mendengarkan dulu apa keinginan anak, dalam hal ini adalah makan es krim dulu. Bisa jadi hal itu dilakukan anak untuk meredakan ketegangannya karena akan terlambat masuk kelas. Tapi setelah itu, orang tua tetap mengarahkan anak untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan, yaitu tetap harus segera mandi dan kemudian berangkat sekolah," kata Clara.
Anak yang terbiasa dengan pola asuh authoritative akan membawa dampak menguntungkan. Di antaranya anak akan merasa bahagia, mempunyai kontrol diri dan rasa percaya dirinya terpupuk, bisa mengatasi stres, punya keinginan untuk berprestasi dan bisa berkomunikasi baik dengan teman-teman dan orang dewasa.
Dengan adanya dampak positif tersebut, pola asuh authoritative adalah pola asuh yang bisa dijadikan pilihan bagi orang tua. "Beri anak kesempatan bicara tetapi kontrol sepenuhnya tetap di tangan orang tua," tambahnya.

TIPS MENJADI ORANG TUA IDEAL

SEHUBUNGAN dengan pola asuh yang baik, Clara menyarankan beberapa hal berikut yang dapat digunakan orang tua untuk mempererat hubungannya dengan anak.

* Menyediakan waktu untuk anak
Komunikasi yang baik memerlukan waktu yang berkualitas dan ini yang kadang tidak dipikirkan oleh orang tua. Tak sedikit orang tua yang meyakini bahwa yang penting adalah kualitas bukan kuantitas. Padahal dalam hal komunikasi, kuantitas juga diperlukan. Bila orang tua bisa memberikan waktu yang berkualitas bagi anaknya, maka itu berarti ia sudah mengasihi dan memperhatikan anaknya.

* Berkomunikasi secara pribadi
Jangan tunggu sampai anak bermasalah. Setiap kali ada kesempatan, manfaatkan momen tersebut untuk mengajak anak bicara. Bicara di sini tidak sekadar basa-basi menanyakan apa kabarnya hari ini. Akan tetapi sebaiknya orang tua juga bisa menyelami perasaan senang, sedih, marah maupun keluh kesah anak.

* Menghargai anak
Hargai keberadaan anak. Jangan hanya menganggapnya sebagai anak kecil. Kalaupun sedang bicara dengan anak, posisikan dirinya sebagai sosok yang dihargai dan sederajat. Dalam beberapa hal tertentu ada yang lebih diketahui anak ketimbang orang tua. Jadi ada baiknya orang tua pun belajar untuk menghargai dan mendengarkan pendapat anaknya.

* Mengerti anak
Dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua sebaiknya berusaha untuk mengerti dunia anak, memandang posisi mereka, mendengarkan apa ceritanya dan apa dalihnya. Mengenali apa yang menjadi suka dan duka, kegemaran, kesulitan, kelebihan, serta kekurangan mereka.

* Menciptakan hubungan yang baik
Hubungan yang erat dapat mempersempit jurang pemisah antara orang tua dan anak. Dengan demikian anak mau bersikap terbuka dengan menceritakan seluruh isi hatinya tanpa ada yang ditutup-tutupi di hadapan orang tua.

* Berikan sentuhan/kedekatan fisik dan kontak mata
Usahakan setiap hari untuk menyentuh, melakukan kontak mata dan kedekatan fisik dengan anak. Anak akan merasakan kasih sayang dan kehangatan orang tua bila ayah atau ibu mau melakukan hal-hal tersebut.

* Dengarkan anak
Orang tua sebaiknya belajar untuk menjadi pendengar aktif bagi anaknya. Dengan demikian anak akan tahu bahwa orang tua mampu memahaminya seperti yang mereka rasakan. Bukan seperti yang dilihat atau disangka orang tuanya. Cara ini akan membuat anak merasa penting dan berharga. Selain itu anak akan belajar untuk mengenali, menerima, dan mengerti perasaan mereka sendiri, serta menemukan cara untuk mengatasi masalahnya.

0 komentar: